Sebelum memulai hikayat hijrah, saya ingin menyampaikan beberapa goresan yang mirip dengan puisi.
Saya akan memulai dengan definisi Hijrah dan candu. Abu Husayn Ahmad ibn Faris ibn Zakariya (1979:24) Terminologi hijrah dapat ditelaah melalui berbagai dimensi. Secara etimologis, katahijrah berasal dari bahasa Arab yang pada dasarnya tersusun dari huruf-huruf ha, jim dan ra’dengan dua pokok kandungan makna. Pertama, hijrah berarti putus pada satu sisi dan persambungan pada sisi lain. Misalnya: sekelompok orang meninggalkan sebuah perkampungan menuju perkampungan lainnya, sebagaimana sahabat muhajirin yang meninggalkan Makkah menuju Madinah. Kedua, kata tersebut berarti telaga yang luas,dikatakan demikian karena telaga itu merupakan sesuatu yang menghentikan air.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Candu adalah getah kering pahit berwarna cokelat kekuning-kuningan yang diambil dari buah Papaver somniferum, dapat mengurangi rasa nyeri dan merangsang rasa kantuk serta menimbulkan rasa ketagihan bagi yang sering menggunakannya.Sederhananya, candu/kecanduan adalah kondisi dimana para penggunanya merasa ketagihan dan terus menerus ingin menggunakannya tanpa benar-benar paham dampak yang diakibatkan.
Membaca definisi ini, tidak heran jika hijrah dengan cepat menjadi candu bagi para pelakunya. Pada dasarnya kalimat “candu” mengarah kepada makna yang negatif, kemudian dengan segala cara berusaha agar manusia tidak kecanduan terhadap hal yang negatif tersebut. Akan tetapi, jika berbicara tentang hakikat makna, maka bukan tidak mungkin “candu” akan mengajak para pengikutnya kepada amal yang positif.
Jika hijrah diibaratkan dengan sebuah peperangan, maka salah satu alat berperang adalah cadar sebagai pedang. Berperang tanpa pedang, sama halnya dengan beriibadah tanpa ilmu. Sudah kalah, tak dapat pahala pula. Malang nasib badan, mujur sepanjang hari malang sekejap mata, mujur tak dapat diraih malang tak boleh ditolak, tak putus dirundung malang.
Dari sekelumit kegalauan dan nada-nada pesimis tentang hijrah dan candu-candunya ini, tidak tega rasanya melihat orang-orang yang sedang menempuh jalan hijrah namun hanya membawa alat-alatnya sebagai candu belaka.Mari segera kita putus mata rantai hijrah yang seperti ini dengan mental spiritual dan ruuh ghiroh dahaga akan ilmu yang luas dari sang Pencipta.
Sekarang kita coba merunut persoalan hingga pecahlah penyelesaian. Pertama: hijrah bukanlah tren masa kini, ia adalah masa lalu yang telah dicontohkan para Nabi dan relevan sepanjang zaman. Oleh karenanya, perangkat-perangkat dalam berhijrah mesti disiapkan sedemikianrupa agar mantap dalam berhijrah.Perangkat-perangkat hijrah tidak bisa digunakan serampangan, syarat dan rukunnya harus dipatuhi secara tertib.
Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah niat berhijrah tulus dan murni mengharap cinta dari Allah Swt, bukan karena cinta-cinta lainnya, karena tidak ada dua cinta dalam satu tubuh.Dengan catatan bahwa cinta itu harus dilandasi ilmu, minimal ilmu tentang bagaimana memahami diri sendiri.
Tahapan kedua: menuntut ilmu dengan bimbingan guru. Dari Ibnu Abbas r.a, berkata Rasulullah saw bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (HR. Ath-Thabrani) Ibnul Mubarak berkata: “sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 No. 32)
Cakupan ilmu tentu sangatlah luas, tidak habis kita kupas hanya dalam beberapa helai kertas. Dalam kaitannya dengan proses hijrah, cadar merupakan salah satu alat hijrah yang dianjurkan. Untuk itu, kita juga harus mengerti bagaimana Islam mengatur pemakaian cadar melalui penjabaran para fuqoha.satu hal yang benar-benar harus diingat adalah, “laki-laki sangat tidak dianjurkan memakai cadar”. Maka logika sederhananya, hanya perempuanlah yang diajurkan memakainya.Disini saya tidak hendak bercanda, para ulama mazhab telah membagi kategori perempuan.Nanti saya terangkan sedikit.
Persoalan memakai cadar bagi perempuan sebenarnya adalah masalah yang diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam.Karena ketersingkatan relung waktu dan lapak akademisnya, saya mencoba menjelaskan dengan sederhana saja.
Secara umum, perempuan itu terbagi menjadi dua, perempuan muda, dan perempuan tua.Saya harap para perempuan tua tidak tersinggung dengan kalimat itu, karena tua adalah sebuah keniscayaan dan kebetulan (takdir) yang tak dapat dielakkan.Bagi perempuan muda (al-mar’ah asy-syabbah) menurut mazhab Hanafi dilarang mengendorse wajahnya di antara para lelaki mata belang, bukan karena wajah itu termasuk aurat, namun lebih untuk menjauhkan dari segala fitnah. (lihat Al-Mawsu’atul Diqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait Wizaratul Awqaf wasSyu’unul Islamiyah, juz XLI halaman 134)
Dari pendapat tersebut, berarti inti dari persoalan adalah terletak pada dampak pragmatis yang ditimbulkan jika wajah dilihat oleh lelaki yang tidak punya hak atasnya.Lantas bagaimana dengan perempuan tua? Untuk jawaban ini saya serahkan langsung kepada para pembaca untuk melanjutkannya.
Dalam pendapat yang lain, mazhab Maliki menyatakan bahwa hukum bagi perempuan muda menutup wajahnya, baik ketika shalat ataupun diluar shalat karena hal tersebut termasuk perbuatan yang berlebih-lebihan (al-ghuluw).Kemudian bagaimana dengan pendapat mazhab Syafi’i? dalam mazhab Syafi’i terdapat perbedaan pendapat, pertama bahwa hukum memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua sunnah, dan pendapat ketiga khilaful awla, menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar. (lihat Al-Mawsu’atul Diqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait Wizaratul Awqaf wasSyu’unul Islamiyah, juz XLI halaman 134)
Poin penting yang ingin saya sampaikan dari pendapat-pendapat Imam mazhab bahwa persoalan hukum memakai cadar bagi perempuan merupakan persoalan khilafiyah. Untuk itu, yang tidak kalah penting lagi adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut. Proses dalam menyikapi hal tersebut harus kita lihat dari konteks tempat atau negeri, karena dengan begitu kita bisa menjatuhkan pilihan apakah cadar dihukumkan wajib, sunnah, atau makruh.
Konteks tempat atau negeri inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan klasik tentang cadar, memakai cadar, budaya atau syariah Islam? Sebelum menjawab ini, terlebih dahulu saya utarakan satu pertanyaan padanan sekaligus jawaban sederhana, apakah hukumnya musik? Ada yang menjawab hukumnya haram.Tetapi, sebelum mengamini haramnya musik, secara pribadi saya harus mendeteksi satu persatu terlebih dahulu. Pertama, apa itu musik? Musik adalah suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, nada, dan keharmonisan terutama dari suara yang dihasilkan dari alat-alat yang dapat menghasilkan irama.Melihat definisi ini, muncul pertanyaan baru, mengapa hukumnya haram? Dimana letak keharamannya?
Baiklah, dalam ihya ulumuddin Al-Ghazali menjelaskan dengan sangat adil persoalan ini.Dalil keharaman yang sering digunakan adalah HR. Bukhari dan Abu Daud, “kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras dan musik”.
Hadis ini tidak ada yang mengingkari keabsahannya, hanya saja yang harus kita pahami bahwa keharamannya itu bukan didasarkan pada musik dan nyanyian itu sendiri, tetapi karena disertakan dengan kemaksiatan seperti mabuk-mabukan, perzinahan, perjudian, ataupun menyebabkan orang lalai.
Sekarang kita kembali ke pertanyaan memakai cadar, budaya atau syariah Islam? Mohon diperhatikan alur jawaban yang saya coba jabarkan ini dengan hati dingin dan usahakan disamping anda ada secangkir kopi, dengan takaran gula yang disesuaikan.
Pertama, budaya lebih dulu ada dibanding syariat Islam. Islam disini adalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Tidak bisa dipungkiri, bahwa bangsa Arab jauh sebelum ada Islam sudah memakai cadar untuk melindungi diri (menutupi wajahnya yang cantik subhanallah) dari perlakuan buruk para lelaki berbadan belang.Kedua, mereka hidup di gurun pasir yang siap kapan saja berhembus kencang. Ketiga; dahulu sekitar tahun 1940-an para perempuan Maroko memakai Djellaba (jubbah berkerudung dan menutupi wajah dan tubuh kecuali mata) merupakan simbol nasionalisme dan perisai identitas. Maka melihat ini, tidak heran jika ada pendapat yang mengatakan bahwa cadar merupakan budaya suatu bangsa.
Sementara pendapat bahwa cadar adalah syariah juga memiliki dasar yang kuat. Hanya saja, jika berbicara tentang syariah, maka akan mengarah kepada beberapa hukum. Haram, sunnah, mubah, atau makruh. Kesimpulannya, memilih salah satu dari hukum itu juga termasuk kategori syariah.Saya sederhanakan lagi, misalnya ada kelompok yang sepakat bahwa hukumnya adalah wajib, jelas itulah disebut syariah islam. Kemudian, ada yang memilih bahwa hukumnya sunnah, pun hal tersebut merupakan syariat Islam. Dan seterusnya.
Tahapan ketiga: tahapan ini sebenarnya masih bagian dari tahapan kedua, yaitu mendata setiap jenis ibadah serta mengkaji ilmunya secara intensif dan terperinci.
Semoga dengan beberapa coretan-coretan ini minimal dapat mengajak masyarakat untuk mengenali dan memahami hijrah secara utuh, bukan hanya karena trend dan pamer, sehingga hijrahnya tidak hanya sekedar candu pujian manusia.Wallahu alam.